Oleh: Pdt. Ariel Aditya Susanto
Kalimat di atas kira-kira artinya: memukul dengan meminjam tangan (orang lain). Hal ini biasanya dilakukan seseorang agar bisa mencapai tujuan (mengalahkan lawan, meraih sesuatu yang diinginkan) tanpa perlu dituntut pertanggungjawaban. Jadi, dengan cara ini si aktor intelektual bisa terbebas dari tuduhan jelek sebagai pemukul, pembunuh, pelaku; apapunlah namanya. Sebuah strategi lihay yang sering dipakai dalam situasi perang dimana beberapa pihak berupaya saling menaklukkan.
Daud pun pernah menerapkan strategi ini. Melihat Batsyeba yang sedang mandi, Daud tertarik. Informasi bahwa Batsyeba sudah bersuami tak mengurungkan niat Daud untuk menidurinya. Singkat cerita, akhirnya mengandunglah Batsyeba.
Di tengah kegalauan mendengar kabar yang (tentu) tak diharapkan itu, Daud mencari cara agar ia lepas dari tanggungjawab. Ia memanggil Uria dan berkata “…Pergilah ke rumahmu dan basuhlah kakimu…” (2 Sam 11:8); sebuah perintah halus untuk memberi kesempatan Uria pulang dan melepas rindu (baca: berhubungan badan) dengan Batsyeba, istrinya. Modus cantik untuk menciptakan alibi bahwa bayi yang dikandung Batsyeba tak lain berasal dari benih Uria sendiri.
Tapi diluar dugaan Daud, Uria tidak pulang ke rumahnya. Daud bingung dan bertanya. Uria pun memberikan alasan mengapa ia tidak mengikuti instruksi raja: “Tabut serta orang Israel dan orang Yehuda diam dalam pondok, juga tuanku Yoab dan hamba-hamba tuanku sendiri berkemah di padang; masakan aku pulang ke rumahku untuk makan minum dan tidur dengan isteriku? Demi hidupmu dan demi nyawamu, aku takkan melakukan hal itu!” (11:11).
Gubraaak! Sungguh demonstrasi loyalitas yang ditunjukkan bukan pada waktu yang tepat. Bukan respon seperti ini yang diinginkan Daud. Jelaslah, upaya Daud untuk nyilih benih Uria supaya ia terbebas dari tanggungjawab gatot (gagal total).
Tak habis akal, Daud mencoba strategi kedua. Strateginya lebih keras, tapi tetap bernuansa sama: napuk nyilih tangan. Ia menulis surat kepada Yoab, panglimanya: “…Tempatkanlah Uria di barisan depan dalam pertempuran yang paling hebat, kemudian kamu mengundurkan diri dari padanya, supaya ia terbunuh mati” (11:15). Andai Uria mati, Daud akan punya ruang alasan yang cukup luas untuk menikahi Batsyeba dan mendapatkan anak darinya. Bukankah menikahi janda yang sudah ditinggal suaminya bukanlah dosa, malahan mulia?
Meski Daud sebenarnya punya kuasa yang cukup untuk membunuh Uria dengan tangannya sendiri, tapi bisa jadi Daud masih sangat peduli terhadap citra dirinya di depan rakyat. Apa kata dunia kalau ada seorang raja membunuh prajuritnya demi bisa merebut istrinya? Inikah perilaku beradab raja pilihan Yahweh? “Daripada reputasiku jadi jelek gara-gara membunuh Uria, lebih baik aku nyilih tangan musuhku untuk membunuh dia,” demikian duga saya tentang pikiran Daud waktu itu.
Dan akhirnya berhasillah upaya Daud. Uria mati, Batsyeba jadi janda. Lalu menikahlah mereka.
Banyak analisa ahli mengatakan, presiden kita sedang bermain politik dengan filosofi yang sama dengan Daud. Tak kuasa menolak keinginan ‘Ibu si Budi’ untuk memilih pion kesayangannya: ‘si Budi’ untuk jadi Kapolri, ia meloloskan saja keinginan si Ibu. Di pikirannya mungkin sempat terbersit:”Halah, toh nanti pasti ditolak sama DPR.” Lhadalah, ternyata DPR RI tak sebodoh Uria yang demikian mudah di-setting untuk mati. Mereka tak sudi tangan mereka disilih pak presiden untuk napuk si Budi.
Lalu kalau sudah begini, terus siapa yang harus menuntaskan krisis ini? Tangan siapa yang bersedia disilih untuk napuk?
Andai ada peluang untuk mengajukan diri, saya serius mau mengacungkan tangan pertama kali untuk menawarkan tangan saya. Saya rela tangan saya dipakai untuk napuk.
Napuk pipi pak presiden yang mulai bikin saya ilfeel karena ketidaktegasannya.
